Secara
filosofis pendidikan bertujuan untuk mendorong kebebasan pemikiran terhadap apa
yang disebut sebagai kebenaran, berdimensi moral, dan mendorong seseorang untuk
menemukan jati diri kemanusiaan. Pendidikan juga merupakan alat mobilisasi
sosial bagi golongan miskin yang terpinggirkan, oleh karenanya pendidikan
mempunyai peran penting dan menjadi salah satu kewajiban negara untuk
memenuhinya. Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan tersebut dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam pasal 31 ayat (4), yang mengharuskan
negara memenuhi kewajiban untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan
pendidikan. Kewajiban tersebut diturunkan dalam kebijakan anggaran negara
(APBN), dengan patokan 20 % dari total anggaran belanja negara harus dialokasikan
untuk membiayai pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi
(Harmono, 2010).
Kondisi
pendidikan di Indonesia saat ini sangat jauh berbeda dari keadaan idealnya yang
telah diamanatkan dalam Undang-Undang 1945 pasal 31, pemerintah membiarkan dan
melepas tanggung jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan karena alasan
sebagai berikut :
Konsesus Washington
Anjuran
konsensus washington benar-benar dipatuhi oleh pemerintahan Indonesia seperti
privatisasi, deregulasi, dan pengurangan subsidi. Akibatnya pengeluaran APBN
untuk memenuhi kebutuhan sosial termasuk pendidikan dianaktirikan dibandingkan
dengan alokasi untuk infrastruktur. Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat
dilihat dalam peraturan presiden Indonesia nomor 77 tahun 2007, tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman
Modal Usaha atau disebut BHP (Badan Hukum Pendidikan). Pada peraturan tersebut
disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan
non formal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal
maksimal 49 % (sosiologi, 2011)
Bank Dunia
Laporan
bank dunia yang berjudul Investing In
Indonesia’s Education Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures
menyebutkan dengan jelas mandat konstitusi untuk memenuhi 20 % anggaran
pendidikan adalah tidak realistis dan problematis. Intervensi
bank dunia pada pendidikan Indonesia dimulai ketika lembaga kreditor
multilateral menyelenggarakan konfrensi tentang pendidikan tinggi di negara berkembang
tahun 2000. Bertepatan dengan konfrensi tersebut bank dunia mengucurkan utang
sebesar 114,54 juta Dolas AS kepada pemerintah Indonesia. Draft perjanjian
utang antara bank dunia dan pemerintah Indonesia saat itu disebutkan dengan
jelas bahwa salah satu indikator keberhasilan program tersebut adalah
diloloskannya Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tahun
2010.
Rasionalisasi
pengesahan BHP yaitu memberikan keleluasaan pada pihak swasta untuk menanamkan modal
pada instansi pendidikan. Meskipun penanaman modal dibatasi, tetap memberikan
indikasi bahwa pendidikan telah dikomersialkan secara nyata menjadi komoditas
dagang. Pemberlakuan BHP akan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan karena
sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat. Model pendidikan tersebut seperti tidak
melihat kondisi objektif masyarakat indonesia, malah justru menjerumuskan
rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam
merebutkan kekayaan dan status quo bagi kalangan elit. Akibat model pendidikan
seperti ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiayai pendidikan dan
berakhir sebagai kebijakan pembodohan masal terhadap rakyat.
Proyek
terakhir bank dunia adalah memberikan pinjaman dana pada proyek HPEQ (Health
Profesional Education Quality) khusus
untuk Institusi pendidikan tinggi di bidang kesehatan. HPEQ adalah program
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang pendanaannya didukung oleh
Bank Dunia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan
Indonesia melalui peningkatan kualitas
institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan dan lulusannya, yang nantinya akan
menjadi tenaga kesehatan strategis. Dalam pelaksanaan kegiatannya, HPEQ melibatkan
berbagai pemangku kebijakan yang bertanggung jawab atas perbaikan sistem
pelayanan kesehatan di negeri ini. Mereka adalah pemerintah sebagai pembuat
kebijakan, institusi pendidikan sebagai produsen, serta peserta didik atau
mahasiswa ilmu kesehatan sebagai konsumen utama dalam sistem pendidikan
kesehatan yang diharapkan dapat memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk
mencapai tujuannya, HPEQ memiliki 3 komponen yaitu : Strengthening Policies and Procedures for School Accreditation,
Certification of Graduates Using a National Competency-based Examination, dan
Results-based Financial Assistance Package (FAP) for Medical Schools.
Konsep
bank dunia untuk memperluas jaringan swasta ternyata memperlakukan hal yang
sama pada proyek HPEQ. Penambahan institusi pendidikan tinggi kesehatan dari
sektor swasta yang ditanami modal dari pihak swasta justru akan menjadikan
pendidikan sebagai perdagangan. Selain itu, paket bantuan finansial yang
dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu terlihat seperti sebuah kedok karena
hibah tidak akan diberikan jika pemerintah tidak berutang pada lembaga
kreditor, terlebih utang selalu lebih besar dari hibah yang diberikan.
Alternatif Solusi
Sebelumnya
pada konfrensi yang dilaksanakan bank dunia pada negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, konfrensi tersebut menghasilkan dokumen yang berjudul “Higher Education in Developing Countries
Peril and Promise”, dengan rekomendasi tertuju pada negara berkembang untuk
melibatkan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Alasan yang dikemukakan
bank dunia terhadap rekomendasi tersebut antara lain untuk mengurangi anggaran
pemerintah untuk membiayai pendidikan dengan membagi beban itu pada pihak
swasta. Selain itu, keterlibatan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi akan
mengintegrasikan output pendidikan dengan kebutuhan pasar. Kedua, untuk
menjamin keterlibatan swasta dalam pendidikan tinggi dan juga sinergi antara
kebijakan nasional dan daerah.
Solusi yang
diberikan bank dunia secara terang-terangan akan menjadikan pendidikan sebagai
komoditas datang dan sarat komersialisasi.
Indonesia perlu memikirkan solusi sesuai dengan kondisi umum Indonesia dalam
menghadapi persoalan pendidikan. solusi tepat untuk membangun kualitas
pendidikan Indonesia adalah membuang jauh-jauh mindset untuk memasukkan pihak swasta dalam institusi pendidikan
karena alasan pendanaan. Pendanaan dapat diatasi dengan membangun model
pendidikan sebagai berikut :
a. Memanfaatkan pendidikan tinggi negeri berbasis BHMN
Instansi
pendidikan tinggi berbasis BHMN tidak hanya terkenal karena biaya yang mahal tetapi
karena persaingan intelektual untuk masuk ke dalamnya karena mahasiswa
disiapkan untuk persaingan era globalisasi. Institusi pendidikan tinggi BHMN
memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya masing-masing. Menyediakan
perguruan tinggi dengan biaya mahal dan bertaraf internasional sama artinya
dengan menarik masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam finansial bersekolah di
dalam negeri (Kahar, 2007). Peran pemerintah pada Institusi BHMN ini adalah
menggulirkan beasiswa seluas-luasnya bagi masyarakat kalangan tidak mampu yang
memiliki kemampuan intelektual tetap dapat memilih melanjutkan pendidikannya ke
institusi BHMN yang masih menjadi kebanggaan di Indonesia. Selain itu,
sebaiknya Instansi yang telah well-established
seperti Institusi pendidikan BHMN ini perlu melakukan pembinaan kepada
institusi yang baru tumbuh dan sedang berkembang.
b. Dukungan terhadap LSM atau Yayasan pendidikan yang
dibangun atas prinsip kesadaran
Banyak yayasan pendidikan yang berbasis
kesadaran untuk mencerdaskan peserta didik perlu mendapat apresiasi, salah satu
contohnya adalah Muhammadiyah. Berlandaskan amar ma’ruf nahi munkar melalui
amal usaha Muhammadiyah, yayasan ini mampu membangun sistem pendidikan untuk
rakyat dengan prinsip “hidup-hidupilah muhammadiyah dan jangan mencari hidup di
Muhammadiyah” secara umum, biaya pendidikan relatif terjangkau dengan fasilitas
yang diberikan maksimal.
c. Apresiasi Terhadap Peran Mahasiswa
agen of change dan agen of social control merupakan gambaran peran mahasiswa, dengan
sikap kritisnya dan terlepas dari intervensi mahasiswa dapat mengkaji setiap
kebijakan pemerintah termasuk kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
d. Pendidikan Sebagai pelayanan publik.
Pendidikan
saat ini harus mengalami perubahan yang lebih mementingkan kepentingan seluruh
warga masyarakat selaku subjek, untuk itu perlu upaya mendinamisasikan
sumber-sumber dana dari masyarakat. Penggerak model pendidikan ini dapat
berasal dari masyarakat atau melalui pemberdayaan masyarakat yang kini telah
diinisiasi oleh NGO (non goverment
organisation) atau biasa disebut dengan LSM. Kembali kepada fungsi
pendidikan yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa, maka pendidikan dapat
diperoleh dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Program-program mandiri yang
digulirkan oleh anak bangsa seperti “Indonesia Mengajar” perlu difasilitasi
sehingga masyarakat indonesia dapat merasakan proses pendidikan walaupun tidak
di lembaga pendidikan formal.
Daftar Pustaka
Admin
Sosiologimarxix. 2011. Problematika
Pendidikan Indonesia dan Dampaknya terhadap Generasi Muda. http://sosiologimarxis.wordpress.com/2011/05/11/104/.
Diunduh pada tanggal 8 Maret 2012 : Yogyakarta
Harmono
Yuyun. 2010. Pendidikan dalam Pusaran
Neoliberalisme. http://pmiigadjahmada.wordpress.com/category/pendidikan/. Diunduh pada tanggal 8 Maret 2012 :
Yogyakarta
Kahar A
Irawaty. Aspek-Aspek yang Memunculkan
“Komersialisasi” Pendidikan. Historisme. Edisi Vol IX No. 23 Januari 2007 :
51
Kemendikbud.
2011. Mahasiswa Kesehatan Harus Tahu.
Jakarta
By. Zly