Jumat, 20 April 2012

Bank Dunia,Akar Permasalahan Komoditasi dan Komersialisasi Pendidikan


Secara filosofis pendidikan bertujuan untuk mendorong kebebasan pemikiran terhadap apa yang disebut sebagai kebenaran, berdimensi moral, dan mendorong seseorang untuk menemukan jati diri kemanusiaan. Pendidikan juga merupakan alat mobilisasi sosial bagi golongan miskin yang terpinggirkan, oleh karenanya pendidikan mempunyai peran penting dan menjadi salah satu kewajiban negara untuk memenuhinya. Hak warga negara untuk memperoleh pendidikan tersebut dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dalam pasal 31 ayat (4), yang mengharuskan negara memenuhi kewajiban untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan. Kewajiban tersebut diturunkan dalam kebijakan anggaran negara (APBN), dengan patokan 20 % dari total anggaran belanja negara harus dialokasikan untuk membiayai pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi (Harmono, 2010).
Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini sangat jauh berbeda dari keadaan idealnya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang 1945 pasal 31, pemerintah membiarkan dan melepas tanggung jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan karena alasan sebagai berikut :
Konsesus Washington
Anjuran konsensus washington benar-benar dipatuhi oleh pemerintahan Indonesia seperti privatisasi, deregulasi, dan pengurangan subsidi. Akibatnya pengeluaran APBN untuk memenuhi kebutuhan sosial termasuk pendidikan dianaktirikan dibandingkan dengan alokasi untuk infrastruktur. Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat dilihat dalam peraturan presiden Indonesia nomor 77 tahun 2007, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Usaha atau disebut BHP (Badan Hukum Pendidikan). Pada peraturan tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non formal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 % (sosiologi, 2011)
Bank Dunia
Laporan bank dunia yang berjudul Investing In Indonesia’s Education Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures menyebutkan dengan jelas mandat konstitusi untuk memenuhi 20 % anggaran pendidikan adalah tidak realistis dan problematis. Intervensi bank dunia pada pendidikan Indonesia dimulai ketika lembaga kreditor multilateral menyelenggarakan konfrensi tentang pendidikan tinggi di negara berkembang tahun 2000. Bertepatan dengan konfrensi tersebut bank dunia mengucurkan utang sebesar 114,54 juta Dolas AS kepada pemerintah Indonesia. Draft perjanjian utang antara bank dunia dan pemerintah Indonesia saat itu disebutkan dengan jelas bahwa salah satu indikator keberhasilan program tersebut adalah diloloskannya Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tahun 2010.
Rasionalisasi pengesahan BHP yaitu memberikan keleluasaan pada pihak swasta untuk menanamkan modal pada instansi pendidikan. Meskipun penanaman modal dibatasi, tetap memberikan indikasi bahwa pendidikan telah dikomersialkan secara nyata menjadi komoditas dagang. Pemberlakuan BHP akan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan karena sepenuhnya ditanggung oleh masyarakat. Model pendidikan tersebut seperti tidak melihat kondisi objektif masyarakat indonesia, malah justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan. Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan status quo bagi kalangan elit. Akibat model pendidikan seperti ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiayai pendidikan dan berakhir sebagai kebijakan pembodohan masal terhadap rakyat.
Proyek terakhir bank dunia adalah memberikan pinjaman dana pada proyek HPEQ (Health Profesional Education Quality) khusus untuk Institusi pendidikan tinggi di bidang kesehatan. HPEQ adalah program Direktorat  Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang pendanaannya didukung oleh Bank Dunia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan Indonesia  melalui peningkatan kualitas institusi pendidikan tinggi bidang kesehatan dan lulusannya, yang nantinya akan menjadi tenaga kesehatan strategis. Dalam pelaksanaan kegiatannya, HPEQ melibatkan berbagai pemangku kebijakan yang bertanggung jawab atas perbaikan sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Mereka adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan, institusi pendidikan sebagai produsen, serta peserta didik atau mahasiswa ilmu kesehatan sebagai konsumen utama dalam sistem pendidikan kesehatan yang diharapkan dapat memberi pelayanan prima kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuannya, HPEQ memiliki 3 komponen yaitu : Strengthening Policies and Procedures for School Accreditation, Certification of Graduates Using a National Competency-based Examination, dan Results-based Financial Assistance Package (FAP) for Medical Schools.
Konsep bank dunia untuk memperluas jaringan swasta ternyata memperlakukan hal yang sama pada proyek HPEQ. Penambahan institusi pendidikan tinggi kesehatan dari sektor swasta yang ditanami modal dari pihak swasta justru akan menjadikan pendidikan sebagai perdagangan. Selain itu, paket bantuan finansial yang dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu terlihat seperti sebuah kedok karena hibah tidak akan diberikan jika pemerintah tidak berutang pada lembaga kreditor, terlebih utang selalu lebih besar dari hibah yang diberikan.
Alternatif Solusi
Sebelumnya pada konfrensi yang dilaksanakan bank dunia pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia, konfrensi tersebut menghasilkan dokumen yang berjudul “Higher Education in Developing Countries Peril and Promise”, dengan rekomendasi tertuju pada negara berkembang untuk melibatkan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Alasan yang dikemukakan bank dunia terhadap rekomendasi tersebut antara lain untuk mengurangi anggaran pemerintah untuk membiayai pendidikan dengan membagi beban itu pada pihak swasta. Selain itu, keterlibatan swasta dalam pembiayaan pendidikan tinggi akan mengintegrasikan output pendidikan dengan kebutuhan pasar. Kedua, untuk menjamin keterlibatan swasta dalam pendidikan tinggi dan juga sinergi antara kebijakan nasional dan daerah.
Solusi yang diberikan bank dunia secara terang-terangan akan menjadikan pendidikan sebagai komoditas datang dan  sarat komersialisasi. Indonesia perlu memikirkan solusi sesuai dengan kondisi umum Indonesia dalam menghadapi persoalan pendidikan. solusi tepat untuk membangun kualitas pendidikan Indonesia adalah membuang jauh-jauh mindset untuk memasukkan pihak swasta dalam institusi pendidikan karena alasan pendanaan. Pendanaan dapat diatasi dengan membangun model pendidikan sebagai berikut :
a.    Memanfaatkan pendidikan tinggi negeri berbasis BHMN
Instansi pendidikan tinggi berbasis BHMN tidak hanya terkenal karena biaya yang mahal tetapi karena persaingan intelektual untuk masuk ke dalamnya karena mahasiswa disiapkan untuk persaingan era globalisasi. Institusi pendidikan tinggi BHMN memiliki otonomi untuk mengelola keuangannya masing-masing. Menyediakan perguruan tinggi dengan biaya mahal dan bertaraf internasional sama artinya dengan menarik masyarakat yang mempunyai kemampuan dalam finansial bersekolah di dalam negeri (Kahar, 2007). Peran pemerintah pada Institusi BHMN ini adalah menggulirkan beasiswa seluas-luasnya bagi masyarakat kalangan tidak mampu yang memiliki kemampuan intelektual tetap dapat memilih melanjutkan pendidikannya ke institusi BHMN yang masih menjadi kebanggaan di Indonesia. Selain itu, sebaiknya Instansi yang telah well-established seperti Institusi pendidikan BHMN ini perlu melakukan pembinaan kepada institusi yang baru tumbuh dan sedang berkembang.
b.   Dukungan terhadap LSM atau Yayasan pendidikan yang dibangun atas prinsip kesadaran
Banyak yayasan pendidikan yang berbasis kesadaran untuk mencerdaskan peserta didik perlu mendapat apresiasi, salah satu contohnya adalah Muhammadiyah. Berlandaskan amar ma’ruf nahi munkar melalui amal usaha Muhammadiyah, yayasan ini mampu membangun sistem pendidikan untuk rakyat dengan prinsip “hidup-hidupilah muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah” secara umum, biaya pendidikan relatif terjangkau dengan fasilitas yang diberikan maksimal.
c.    Apresiasi Terhadap Peran Mahasiswa
agen of change dan agen of social control merupakan gambaran peran mahasiswa, dengan sikap kritisnya dan terlepas dari intervensi mahasiswa dapat mengkaji setiap kebijakan pemerintah termasuk kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
d.   Pendidikan Sebagai pelayanan publik.
Pendidikan saat ini harus mengalami perubahan yang lebih mementingkan kepentingan seluruh warga masyarakat selaku subjek, untuk itu perlu upaya mendinamisasikan sumber-sumber dana dari masyarakat. Penggerak model pendidikan ini dapat berasal dari masyarakat atau melalui pemberdayaan masyarakat yang kini telah diinisiasi oleh NGO (non goverment organisation) atau biasa disebut dengan LSM. Kembali kepada fungsi pendidikan yaitu untuk mencerdaskan anak bangsa, maka pendidikan dapat diperoleh dari siapapun, dimanapun dan kapanpun. Program-program mandiri yang digulirkan oleh anak bangsa seperti “Indonesia Mengajar” perlu difasilitasi sehingga masyarakat indonesia dapat merasakan proses pendidikan walaupun tidak di lembaga pendidikan formal.

Daftar Pustaka
Admin Sosiologimarxix. 2011. Problematika Pendidikan Indonesia dan Dampaknya terhadap Generasi Muda. http://sosiologimarxis.wordpress.com/2011/05/11/104/. Diunduh pada tanggal 8 Maret 2012 : Yogyakarta
Harmono Yuyun. 2010. Pendidikan dalam Pusaran Neoliberalisme. http://pmiigadjahmada.wordpress.com/category/pendidikan/.  Diunduh pada tanggal 8 Maret 2012 : Yogyakarta
Kahar A Irawaty. Aspek-Aspek yang Memunculkan “Komersialisasi” Pendidikan. Historisme. Edisi Vol IX No. 23 Januari 2007 : 51
Kemendikbud. 2011. Mahasiswa Kesehatan Harus Tahu. Jakarta 

By. Zly